BAB I
PENGERTI AN KEARIFAN LOKAL (LOCAL WISDOM)
A. Pendahuluan
Bab ini akan mengarahkan mahasiswa pada pengertian kearifan lokal. Sebelum mahasiswa mampu menganalisis eksistensi maka sudah seharusnya mahasiswa mampu mengidentifikasi pengertian kearifan lokal sehingga nantinya sudah jelas apa hal yang harus dikembangkan dan dikritisi sebagai tujuan akhir pembelajaran mata kuliah ini.Bab ini berhubungan erat dengan materi Filsafat Nusantara dan Filsafat Kebudayaan tetapi kajian kuliah ini lebih ditekankan pada gagasan-gagasan khusus yang menjadi kekhasan, kepribadian, jati diri bangsa, yang bernilai luhur dan senantiasa ada dalam kehidupan bangsa dan budaya umumnya. Mahasiswa dapat memahami pengertian keari fan lokal dan dapat menunjukkannya sebagai realitas yang ada dalam khasanah budaya.
Tujuan Instruksional Khusus: Mahasiswa memahami pengertian kearifan
lokal dan dapat menunjukkannya dalam dunia realitas budaya.
B. Penyajian
1. Pengertian Keari fan Lokal (local wisdom)Dalam pengertian kamus, kearifan lokal (local wisdom) terdiri dari dua kata: kearifan (wisdom) dan lokal (local). Dalam Kamus Inggris Indonesia John M. Echols dan Hassan Syadily, local berarti setempat, sedangkan wisdom (kearifan) sama dengan kebijaksanaan. Secara umum maka local wisdom (kearifan setempat) dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.
2. Local Genius sebagai Local Wisdom
Dalam disiplin antropologi dikenal istilah local genius. Local genius ini merupakan istilah yang mula pertama dikenalkan oleh Quaritch Wales. Para antropolog membahas secara panjang lebar pengertian local genius ini (lihat Ayatrohaedi, 1986). Antara lain Haryati Soebadio mengatakan bahwa local
genius adalah juga cultural identity, identitas/ kepribadian budaya bangsa yang menyebabkan bangsa tersebut mampu menyerap dan mengolah kebudayaan asing sesuai watak dan kemampuan sendiri (Ayatrohaedi, 1986:18-19).
Sementara Moendardjito (Ayatrohaedi, 1986:40-41) mengatakan bahwa unsur budaya daerah potensial sebagai local genius karena telah teruji kemampuannya untuk bertahan sampai sekarang. Ciri-cirinya adalah:
- Mampu bertahan terhadap budaya luar
- Memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar
- Mempunyai kemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam budaya asli
- Mempunyai kemampuan mengendalikan
- Mampu memberi arah path perkembangan budaya
I Ketut Gobyah thiam “Berpijak pada Kearifan Lokal” dalam http://www.balipos.co.id, di download 17/9/2003, mengatakan bahwa kearifan lokal (local genius) adalah kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah. Kearifan lokal merupakan perpaduan antara nilai-nilai suci firman
Tuhan dan berbagai nilai yang ada. Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kerifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup. Meskipun nilai lokal tetapi nilai yang
terkandung di dalamnya dianggap sangat universal.
S.Swarsi Geriya dalam “Menggali Kearifan Lokal untuk Ajeg Bali” dalam lun, http://wwwbalipos.co.id mengatakan bahwa secara konseptual, kearifan lokal dan keunggulan lokal merupakan kebijaksanaan manusia yang bersandar pada filosofi nilai-nilai, etika, cara-cara dan perilaku yang melembaga secara
tradisional. Keari fan lokal dengan demikian adalah nilai yang dianggap baik dan benar sehingga dapat bertahan dalam waktu yang lama dan bahkan melembaga.
Dalam penjelasan tentang ‘urf. Pikiran Rakyat terbitan 6 Maret 2003 menjelaskan bahwa kearifan berarti ada yang memiliki kearifan (al-’addah al-ma’rifah), yang dilawankan dengan al-’addah al-jahiliyyah. Kearifan dadat dipahami sebagai segala sesuatu yang didasari pengetahuan dan diakui akal
erta dianggap baik oleh ketentuan agama. Adat kebiasaan pada dasarnya teruji secara alamiah dan niscaya baik karena merupakan tindakan social yang berulang-ulang dan mengalami penguatan (reinforcement). Pergerakan secara alamiah terjadi secara sukarela karena dianggap baik atau mengandung kebaikan. Adat yang tidak baik hanya terjadi apabila terjadi pemaksaan oleh
penguasa.
3. Contoh-Contoh dan Fungsi Kearifan Lokal
Menurut Prof. Nyoman Sirtha dalam “Menggali Kearifan Lokal untuk Ajeg Bali” dalam http://www.balipos.co.id, bentuk-bentuk kearifan lokal dalam masyarakat dapat berupa: nilai, norma, etika, kepercayaan, adat-istiadat, hukum adat, dan aturan-aturan khusus. Oleh karena bentuknya yangbermacam-macam maka fungsinya tentu saja juga bermacam-macam.
Balipos terbitan 4 September 2003 memuat tulisan “Pola Perilaku Orang Bali Merujuk Unsur Tradisi” yang antara lain memberikan informasi tentang fungsi dan makna kearifan lokal, yaitu:
- Berfungsi untuk konservasi dan pelestarian sumber daya alam.
- Berfungsi untuk pengembangan sumber daya manusia, misalnya berkaitan dengan upacara daur hidup, konsep kanda pat rate.
- Berfungsi untuk pengembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan, misalnya path upacara saraswati, kepercayaan dan pemujaan path pura Panji.
- Berfungsi sebagai petuah, kepercayaan, sastra dan pantangan.
- Bermakna sosial misalnya upacara integrasi komunallkerabat.
- Bermakna sosial, misalnya pada upacara daur pertanian.
- Bermakna etika dan moral, yang terwujud dalam upacara Ngaben dan penyucian roh leluhur.
- Bermakna politik, misalnya upacara ngangkuk merana dan kekuasaan patron client.
Elly Burhainy Faizal (SP Daily) 31 Oktober 2003 dalam http://www.papuaindependent.com mencontohkan beberapa kekayaan budaya, kearifan lokal di Nusantara yang terkai t dengan pemanfaatan alam yang pantas digali lebih lanjut akna dan fungsinya serta kondisinya sekarang dan yang akan
datang. Kerifan lokal terdapat di beberapa daerah:
- Papua, terdapat kepercayaan te aro neweak lako (alam adalah aku).
Gunung Erstberg dan Grasberg dipercaya sebagai kepala mama, tanah dianggap sebagai bagian dan hidup manusia. Dengan demikian maka pemanfaatan sumber daya alam secara hati-hati.
- Serawai, Bengkulu, terdapat keyakinan celako kumali. Kelestarian lingkungan terwujud dan kuatnya keyakinan ini yaitu tata nilai tabu dalam berladang dan tradisi tanam tanjak.
- Dayak Kenyah, Kalimantan Timur, terdapat tradisi tana’ ulen. Kawasan hutan dikuasai dan menjadi milik masyarakat adat. Pengelolaan tanah diatur dan dilindungi oleh aturan adat.
- Masyarakat Undau Mau, Kalimantan Barat. Masyarakat mi mengembangkan kearifan lingkungan dalam pola penataan ruang pemukiman, dengan mengklasifikasi hutan dan memanfaatkannya.
Perladangan dilakukan dengan rotasi dengan menetapkan masa bera, dan mereka mengenal tabu sehingga penggunaan teknologi dibatasi pada teknologi pertanian sederhana dan ramah lingkungan.
- Masyarakat Kasepuhan Pancer Pangawinan, Kampung Dukuh Jawa Barat.
Mereka mengenal upacara tradisional, mitos, tabu, sehingga pemanfaatan hutan hati-hati. Tidak diperbolehkan eksploitasi kecuali atas ijin sesepuh adat.
- Bali dan Lombok, masyarakat mempunyai awig-awig.
C. Penutup
Kearifan lokal dapat disimpulkan sebagai kepribadian, identitas kultural masyarakat yang berupa nilai, norma, etika, kepercayaan, adat-istiadat dan aturan khusus yang telah teruju kemampuannya sehingga dapat bertahan secara terus-menerus. Keari fan lokal pada prinsipnya benilai baik dan merupakan keunggulan budaya masyarakat setempat dan berkaitan dengan kondisi geografis secara luas.Oleh karena hakikat kearifan lokal yang demikian maka ia akan merefleksikan kondisi budaya Nusantara yang Bhineka Tunggal Ika.
Mahasiswa akan lebih mampu menjelaskan dan mengeksplorasi kearifan lokal Nusantara bila mereka lebih mengenal secara luas khasanah budaya Nusantara. Pengenalan lebih lanjut tentang lokal genius sebagai local wisdom dapat dilakukan dengan kajian pustaka dan melakukan browsing dengan fasilitas internet.
Bab berikutnya akan menjelaskan kekayaan khasanah budaya Nusantara.
Dengan bahasan ini diharapkan ranah pembicaraan tentang keari fan lokal dapat lebih terbuka dan luas.
Artikel / File ini diambil dari www.elisa.ugm.ac.id dimana file ini merupakan karya dari dosen Fakultas Filsafat UGM pengampu materi kuliah Kearifan Lokal oleh Dra. Sartini, M.Hum.