PM Laksono
Pendahuluan
Di sini secara ringkas diuraikan pengalaman metodologis
(praktek) antropologi Indonesia memahami akulturasi terkait dengan proses
pencarian identitas Indonesia, yaitu bagaimana budaya-budaya tempatan secara
kreatif terlibat dalam mengkonstruksi identitas. Bagaimana pun konstruksi
identitas Indonesia itu memerlukan pemahaman mendalam mengenai konsep
Kebudayaan yang selama ini menjadi acuan utama kajian ilmu antropologi di Indonesia
dan dunia pada umumnya.
Sudah sejak setengah abad yang lalu maestro antropologi
Indonesia mencanangkan, bahwa secara strategis antropologi perlu menanggapi
dialektika “dunia lama” dan “dunia baru” atau akulturasi yang sedang dialami
para warga masyarakat dan kebudayaan Indonesia. Artinya persoalan perubahan
kebudayaan, yang menghasilkan keberagaman masyarakat di Indonesia, seharusnya
merupakan pokok perhatian antropologi (Koentjaraningrat 1959: 139),. Kalau sebelum
Perang Dunia II, antropologi fokus pada penemuan representasi (budaya)
Indonesia kuna, maka sesudah itu fokus antropologi bergeser pada persoalan
krisis akulturasi akibat benturan budaya Eropa dan Amerika dengan masyarakat di
negeri-negeri bekas jajahan. Khusus untuk Indonesia, menurut Koentjaraningrat (1959:
173-174), masalah akulturasi adalah masalah bagaimana mengisi nasionalisme
dengan “jiwa baru.”
Kebudayaan
Pertama, konsep kebudayaan yang menjadi dasar
teori-teori antropologi itu bukan saja banyak
jumlahnya,[2]
tetapi juga dapat menyesatkan serta dapat melahirkan salah kaprah. Pada zaman kolonial,
konsep kebudayaan digunakan regim (berpikir) penjajah untuk menunjukkan perbedaan
diri mereka dengan liannya, yaitu para kaum terjajah. Dari sisi peradaban Barat
yang menjajah, budaya Timur itu eksotik berbeda dengan milik mereka. Bahkan di
Hindia Belanda awal abad XX hingga menjelang Perang Dunia II, pemerintah
mempraktekkan kebijakan masyarakat plural (plural society) dimana penduduk
Hindia Belanda dipisahkan satu sama lain secara rasial. Masing-masing kelompok
hidup terpisah dalam agama, budaya, bahasa dan pemimpinnya masing-masing. Mereka ketemu hanya di pasar dan dipersatukan oleh kuasa
pemerintah jajahan. Secara vertikal, orang Belanda dan Eropa diletakkan pada
puncak hirarki, lalu di bawahnya adalah para Indo dan mereka yang dipersamakan
dengan orang Eropa serta orang-orang timur asing, dan pada bagian paling bawah
adalah para pribumi (Furnivall). Pada masa setelah penjajahan (paska kolonial)
pun konsep kebudayaan tidak serta merta dapat membebaskan wacana (akademik)
dari pembedaan serupa itu. Para terdidik dan akademisi mewacanakan kebudayaan
masih dalam pengertian yang membedakan
(diskriminatif) antara (budaya) dirinya, yang seringkali telah menjadi
kosmopolitan itu, dengan (budaya) kebanyakan orang lain di luarnya.
Budi Susanto, S.J. (2010: 30-32) memberikan contoh betapa latennya jejak kuasa kolonial dalam
wacana kebudayaan. Ia memberikan contoh betapa melalui Pameran Kolonialitas
Internasional tahun 1931 di paris, paviliun Kerajaan Belanda sukses mendapatkan
penghargaan yang tinggi dan dikunjungi sekitar 30 juta orang selama setengah
tahun pameran. Konon setelah menerapkan Politik Balas Budi, Pemerintah Kerajaan
Belanda telah berhasil membangun kolonisasi gaya baru dengan melakukan beragam
penelitian serius untuk memahami dan menghargai kebudayaan pribumi yang rumit.
Pujian datang karena pavilun itu “memamerkan identitas arsitektur kolonial yang
mampu “menerjemahkan” kehebatan dan “kehebohan” budaya dan seni pribumi Hindia
Belanda.” Padahal, seperti yang diacu Susanto dari Benedict Anderson,
bagaimanapun hebatnya pameran seperti itu, ujung-ujungnya pihak penjajah yang
mampu menerjemahkan dan membiayai seni budaya pribumi itulah yang hebat.
Meskipun ada perlawanan datang dari para sosialis Eropa
di Paris yang mengorganisir pameran lain dengan tema “Kebenaran di Atas
Kolonisasi,” nasionalisme Indonesia tidaklah semata-mata tumbuh dari perlawanan
anti penjajah. Susanto benar mengingatkan apa yang pernah ditulis Benedict
Anderson, bahwa penggunaan bahasa Melayu (pasar/revolusioner) sebagai lingua
franca telah menumbuhkan nasionalisme dan bukan sebaliknya nasionalisme
menumbuhkan bahasa bersama. Dengan demikian nasionalisme Indonesia tumbuh dari
titik antara dalam hubungan antara mereka yang terjajah dan menjajah. Dalam
konteks sejarah Indonesia James T. Siegel (1997: 7) menemukan bahwa sejarah
Indonesia terbuat bukan dari sumber-sumber asli dan juga bukan dari pinjaman asing, tetapi dari efek koneksi-koneksi
antara keduanya. Siegel (idem.: 93) mengatakan bahwa “pribumi” bukanlah dasar
bagi “orang Indonesia,” karena untuk menjadi Indonesia orang harus pertama-tama
merasakan arus-arus komunikasi dunia. Dengan demikian identitas diperoleh
melalui kekuatan komunikasi atau karena berada dalam wacana. Saya pikir, Indonesia
menjadi ruang antara kini dan masa revolusi yang lalu; antara dunia baru dan
dunia lama; antara kegiatan-kegiatan pertanian dan industri; dan antar
kampung-kampung dan wilayah di kota. Pentingnya titik antara sebagai landasan
pertumbuhan nasionalisme Indonesia mengingatkan para pengkaji budaya, termasuk
para pengkaji post kolonialitas agar tidak berhenti dan berpuas diri sekedar
untuk mengumbar perlawanan pada kolonialitas tetapi harus lebih reflektif dan
terlibat dalam transformasi sosial (lihat Kahn 1995). Lalu bagaimana?
Ada semacam mitos
dari para antropolog, bahwa belajar antropologi itu pertama-tama melalui
latihan memperhatikan peristiwa dengan mata, kemudian mendengar dengan telinga
dan membau dengan penciuman. Setelah itu baru kita gunakan pikiran untuk
menemukan konteks dari peristiwa yang tertangkap indera kita, sambil
merefleksikannya pada “nurani” kita sebelum berkata-kata mengenai budaya (lian)
kita. Hari ini begitu banyak tontonan rekaman foto, video dan film dokumenter
dan fiksi diproduksi dan disebarkan secara masif tidak hanya melalui televisi,
tetapi juga melalui jaringan internet bahkan telpon genggam. Orang
berjam-jam dalam sehari menonton TV dan bertukar gambar. Apakah ini semua kita
butuhkan? Kalau ya, mengapa persebarannya begitu diskriminatif, misalnya
peredaran video Briptu Norman Kamaru mendendangkan lagu India (Caya Caya) tahun
silam dapat meledak dan menyedot perhatian massa penonton dan menggairahkan
aparat kepolisian, politisi, serta para pemodal usaha rekaman. Tontonan sepak bola menyedot perhatian penonton yang
berbeda dari tayangan sinetron atau pun musik dan film. Sementara itu begitu
banyak video dokumentasi gerakan sosial hanya teronggok di laci para aktivis,
seperti halnya video perkawinan teronggok di laci pengantin. Pemendaran diskriminatif peristiwa
visual semacam itu jelas menimbulkan
pertanyaan soal relasi para pelaku, yang terlibat di dalamnya. Siapa mempertontonkan
apa untuk siapa dan siapa menonton apa? Lalu apa makna dari tontonan itu?
Antropologi visual menempatkan
rekaman citra visual sebagai mediasi untuk melihat liyan dan diri sendiri.
Inilah langkah strategis beretnografi. Dalam hal ini kita sebagai antropolog
diminta untuk memanfaatkan ketidak terhinggaan rekaman kamera visual, utamanya
foto/video, mereprentasikan apa yang tidak tampak (invisible) bagi mata (biologis) kita. Melihat invisibilitas adalah
langkah yang strategis untuk menemukan konteks dari suatu ekspresi budaya. Menurut
Roland Barthes (1981: 88), foto, sebagai citra tanpa kode, mengundang
signifikasi (pemaknaan) tambahan ke permukaan karena ketidak-terbatasan
detilnya. Detil tertentu (punctum)
dalam foto dapat menusuk perasaan dan mengaburkan studium (gambar umumnya). Bayangkan kalau kita menonton foto erotik,
detil tertentu membuat pikiran kita membayangkan sendiri gambar yang tidak ada
dalam bingkai foto. Teori semacam ini toh berguna untuk memahami visualitas
yang dihasilkan kamera secara antropologi, meskipun gambar gerak berbeda dari
foto,.
Ke(tidak)cocokan
hubungan produk kamera dan pikiran/studium (kebudayaan) seperti itu menunjukkan
tidak hanya soal ketidak-nampakan kebudayaan tetapi juga dampak yang
berbeda-beda dari satu teknologi (foto) pada pengertian kita tentang
kebudayaan. James Siegel (2011: 78-80 dan 95-96) mengingatkan, bahwa kita tidak
dapat sembarangan menarik kecocokan hubungan antara (produk) kamera dan
kebudayaan. Sejarah kehadiran kamera di Indonesia punya impak berbeda-beda di
berbagai daerah. Di Jawa, antara lain lewat karya Kasian Cephas pada akhir abad
ke-19, foto-foto anggota keluarga keraton Yogya yang tegak lurus menghadap ke
depan mempreservasi martabat (kejayaan) yang ingin ditampilkan orang Jawa,
sehingga kelak jadi kenangan dan pancaran citra sejarah masa lalu. Sementara
foto-foto Aceh koleksi kolonial (1901) antara lain dari C. Nieuwenhuis menjadi
alat mempertontonkan kekalahan dan sisa-sisa kekalahan Aceh. Camera dibawa
Belanda ke sana untuk kebutuhan perang menaklukkan Aceh. Mereka mempertontonkan
bagaimana Aceh ditaklukkan Belanda, bahkan semacam kutukan karena foto-foto
arsip para penjihat Aceh menjelang kematian seakan menampilkan pandangan
kosong, acuh, tidak peduli, kepada pemotret dan penonton yang tidak memahami
mereka. Para penonton foto itu akan kehilangan akses untuk merefleksikan
dirinya sendiri dari tatapan (kematian) subyek terfoto.
Contoh lain
bagaimana kebudayaan ada di luar peristiwa visual terfoto dapat kita temukan
pada foto koleksi pribadi berikut ini.
Saya
ingat bahwa saya pernah bersalaman dengan Sujud (berpakaian adat jawa) seniman
kendang tunggal Yogya. Tetapi tanpa melihat catatan, saya lupa bahwa peristiwa
itu terjadi tanggal 27 Oktober 2009. Foto ini mengingatkan saya, bahwa kami pernah
bersalaman dalam tampilan (struktur) yang terlihat kontras. Saya
berbaju jas formal (Barat) dan Sujud berbaju Jawa (formal). Namun demikian foto itu toh memperlihatkan kami sama-sama
tersenyum (bahagia). “Kami” sama-sama “melepas” baju (struktur yang membedakan
kami). Sejak kecil saya mengenal Sujud. Ia bagian dari visualitas saya setengah
abad yang lalu. Seringkali saya menonton Sujud ngamen di kampung saya. Bersama
anak-anak kecil lainnya, kami seringkali menguntit dia keliling kampung
dan membicarakan kepiawaiannya main
kendang. Saya sering mencoba menirukannya tetapi tidak pernah bisa. Pendek kata
ia selalu ada di mata saya. Sangat mungkin sosok dia juga ada di mata adik,
kakak, teman bermain dan juga teman-teman saya di Yogya. Setelah puluhan tahun
tidak jumpa, ia hadir pada acara pesta saya. Inilah momen (nostalgia) yang
sangat hebat. Banyak saudara saya pun sangat kegirangan melihat dia (kembali)
dan minta foto bersama dia. Foto peristiwa visual yang membahagiakan saya
ini sepertinya tidak pernah hilang dari penglihatan atau visualitas saya.[3] Antropologi visual bekerja memperhatikan semacam apa yang
ada di antara kami itu dan menemukan makna atau konteks yang membuat kami
sama-sama senyum dan bukan pada perbedaan struktural (baju-baju) yang tampak
pada kami.. Sebagai antropolog, mata kita semestinya terlatih melihat bukan hanya
pada kontras sosok (Saya dan Sujud) di latar depan, tetapi justeru harus melihat detil yang ada di antara sosok-sosok
itu, justeru untuk menemukan pengetahuan budaya (konteks) yang sama-sama kami
mengerti. Dari tengah-tengah kami
itulah terjadi visualitas, yang tidak terlihat dalam foto itu tetapi nyata
bahkan sukar saya lupakan. Mengenali visualitas yang tidak kelihatan merupakan
langkah penting untuk mengenali kebudayaan,
yang oleh Clifford Geertz (1992) dimengerti sebagai sistem jaringan makna atau
pola bagi maupun dari kelakuan manusia.
Bagi Clifford
Geertz, kerja antropolog (etnografik) itu seperti
“mengkonstruksi gadjah misterius, agak gaib, dan tinggal jejak kakinya saja
yang ada dalam pikiran kita.”
Argumennya: “After the Fact (rumusan
setelah kejadian) [4] itu
adalah sebuah teka-teki ganda, dua lipatan kias (simbolik) pada suatu makna nglegena
(literal, apa adanya).” Pada lipatan
pertama, teka-teki itu berarti tafsir retroaktif atau kilas balik (verifikatif).
Ini semacam yang biasa kita saksikan di televisi atau pun di tempat lainnya
ketika polisi melakukan rekonstruksi peristiwa kejahatan di tempat kejadian
(TKP). Tafsir ini mungkin satu-satunya cara orang dapat genah dengan semacam
gejala yang dihayati ke depan dan dipahami ke belakang. Bagi para antropolog
tafsir semacam ini adalah sebuah keniscayaan. Nah, pada lipatan kedua (lebih
problematik dari sebelumnya), teka-teki itu menurut Geertz berarti kritik
post-positifis atas realisme empirik, yaitu gerakan menjauh dari teori-teori
koresponden kebenaran dan pengetahuan yang menyebabkan istilah “fakta” sebagai
suatu urusan yang rentan. Akhirnya Geertz menemukan tidak ada jaminan untuk
suatu kata akhir atas persoalan (budaya) yang tidak terbatas di antara
orang-orang yang sedemikian berbeda-beda sepanjang rentang waktu yang
berbeda-beda pula (Geertz 1995:167-168).[5]
Mungkin untuk memudahkan
pengertian kita tentang perbedaan dan persamaan antar berbagai konsep
kebudayaan, matriks berikut dapat dipakai. Dari segi sasaran atau tujuan dari
suatu konsep kebudayaan dibuat, kita dapat membedakan konsep yang bertujuan
untuk menyatakan kondisi yang statis, lestari, tetap ajeg dan asli ritualistik
tidak berubah dari konsep yang bertujuan untuk menempatkan kebudayaan sebagai
sesuatu yang dinamik, berubah, berisi pembaruan dan bersejarah. Pembagian ini
dapat kita silangkan dengan pembagian lain atas pandangan dan gambaran kita
tentang substansi atau hakekat kebudayaan, yaitu kebudayaan sebagai sistem
gagasan, tidak tampak, intangible dan kebudayaan sebagai suatu tindakan
konkrit, material, tampak dan tangible.
Matrik 1. Pengertian Kebudayaan Menurut Hakekat dan Sasaran Konsepnya
Sasaran konsep
(kebudayaan) agar identitas (kita)...
|
|||
tetap,
lestari, ajeg, dan asli (ritualistik/strategik)
|
berubah, dinamik, plural, dialektik (taktis
bersejarah)
|
||
Hakekat kebudayaan
|
gagasan tidak tampak, tacit,
intangible
|
Kebudayaan sebagai struktur (sosial), nilai-nilai
|
Kebudayaan
sebagai wacana kreatif (diskursif), sistem pemaknaan
|
(praktek) konkrit,
tampak mata, eksplisit, tangible
|
Kebudayaan sebagai lembaga, kategori dan
klasifikasi sosial
|
Kebudayaan sebagai properti/hasil karya (seni dan ilmu)
|
Pencarian identitas Indonesia
Pencarian
identitas Indonesia antara 1900 dan 1930 mengikuti suatu periode yang cepat dan
bebas dari dan agak berlawanan dengan program reformasi pemerintah kolonial, meskipun
inspirasi idelogisnya datang dari Barat. W.F. Wertheim (1964:211-237) percaya bahwa
Program Politik Etik yang setengah hati untuk transformasi total masyarakat
Indonesia telah menjadi daya dorong gerakan pencarian identitas itu. Namun
demikian ketidak-pastian mengenai bahasa justeru memicu pencarian identitas
baru dengan cara menutup-nutupi identitasnya sendiri dengan meminjam dari
tempat lain (untuk memperkaya miliknya). Konstruksi
“Indonesia” kemudian merupakan apropriasi sesuatu yang anonim/aneh (Siegel
1986), dan tentu saja tidak semestinya
mengubah struktur yang lama. Oleh karena itu sifatnya dinamik dan diskursif.
Kira-kira
sejajar dengan Siegel, Benedict Anderson (2004:29-45) berargumentasi bahwa
pembentukan suatu identitas kolektif, antara seseorang dan jamak/unversalitas/
kolektivitas/komunitas-nya tidaklah mengikuti suatu logika serial yang tunggal.
Mengenai nasionalisme, misalnya, Anderson mengungkapkan bahwa subjektivitas
kolektif (universal) melibatkan dua logika serial yang sangat berbeda. Pertama
adalah logika serial yang terikat, yang diturunkan dari sensus (kategorisasi),
diterapkan dan dihitung oleh aparat Negara. Mengikuti logika ini, identitas
nasional seseorang tertentu (misalnya untuk memilih dan dipilih) tergantung
pada imposisi kategori-kategori sensus (buatan Negara), misalnya kelamin, umur,
tempat lahir, kesukubangsaan, warna kulit dll. Mengacu pada James C Scott
(1998), saya menyebut serial ini sebagai identitas yang terregimentasi, karena
itu diatur oleh angka dan diletakkan dalam sel baris dan kolom seperti halnya
regimen tetara. Logika serial yang kedua itu tidak terikat dan tidak tercacah.
Mengikuti serial ini imajinasi nasionalistik seseorang tergantung pada
akumulasi pengetahuan yang dikumpulkannya dari media. Siapa pun dapat
mengimajinasikan dirinya hampir sesuka hati menggunakan serialitas
(klasifikasi) universal yang ada seperti sebagai revolusioner, nasionalis,
aktivis, sosialis, yuppie, punk, metal, hard rocker, bahkan intelektual dll.
Oleh karena itu banyak varian nasionalisme. Dalam praktek sehari-hari,
orang dipaksa oleh ketegangan hubungan antara kedua serialitas itu untuk
menampilkan ekspresi politik identitasnya secara taktis dan diskursif.
Siegel
(1997) mengklaim bahwa sejarah bangsa
Indonesia berasal dari efek-efek yang terjadi akibat hubungan-hubungan yang
dimungkinkan oleh kehadiran lingua franca. Kita tahu
kehadiran bangsa Indonesia ditopang kuat oleh keberadaan bahasa Indonesia yang
asal mulanya adalah dari bahasa melayu pasar. Sebagai lingua franca
bahasa Indonesia beroperasi di antara orang-orang yang berbeda-beda bahasa dan
budayanya tanpa menjadi milik seseorangpun. Bagi hampir semua penduduk
Indonesia bahasa Indonesia adalah bahasa kedua, malah masih banyak warga
Indonesia yang tidak dapat berbahasa Indonesia. Untuk menggunakan bahasa
Indonesia banyak orang harus menterjemahkan maksud hatinya. Seperti halnya
teknologi yang tersedia bagi seseorang untuk menggunakannya atau, lebih penting
lagi bagi kita, bagi siapa yang mulai berfantasi untuk menggunakannya,
lingua franca adalah suatu alat, suatu
titik antara. Jadi pemahaman kekhususan
sejarah Indonesia tergantung pada pemahaman tentang suatu titik tengah yang
memproduksi efek-efek kultural (Siegel 1997: 8-9),.
Sejarah
revolusi Indonesia dapat dianggap sebagai suatu kekecualian. Ini terjadi karena
pembebasan hasrat, misalnya hasrat untuk merdeka tidak terjadi pada
hubungan-hubungan antara orang-orang terjajah dengan tuannya, tetapi pada
hubungannya dengan dunia. Banyak contoh yang menunjukkan betapa para jenderal
dan elite Indonesia yang ketika berbicara dengan rekan-rekannya selalu dengan
bahasa Belanda daripada dengan bahasa Indonensia. Perjuangan Kartini juga
dikenal tidak memusuhi Belanda, tetapi perjuangan menterjemahkan nilai
emansipasi yang universal untuk menentang ketertindasan perempuan jawa oleh
kaumnya sendiri. Jadi revolusi Indonesia menghasilkan suatu yang tidak
sepenuhnya asing tetapi juga tidak sepenuhnya domestik, yaitu semacam budaya
yang seolah-olah berasal dari negeri antah berantah tanpa alamat, tidak barat
tidak timur. Itulah kira-kira posisi masyarakat-masyarakat dan tentu saja
bahasa-bahasa lama Indonesia
di dalam Negara Indonesia
paska kemerdekaan.[6]
Melalui penterjemahan dalam lingua
franca dan simbol-simbol global itu,
budaya-budaya lokal kemudian mencari pengakuan atas keberadaannya. Orang-orang pribumi mengadopsi pakaian Barat
bukan untuk menjadi Belanda tetapi untuk mengglobalkan diri, yaitu menggunakan
simbol-simbol, yang walau bukan milik siapa pun, agar dapat merasa memiliki
jimat atau sumber kekuatan. Suatu saat pernah seorang anak laki-laki penutur
asli bahasa jawa tamatan SD yang ingin unjuk kemampuan bahasa Indonesianya
dengan susah payah berkata kepada isteri saya: “Bu ini saya mau mengembalikan anda.” Isteri saya sempat bengong:
“Hei apa?” Dengan gugup ia mencoba memperbaiki budi bahasanya kini dalam bahasa
jawa: “Niki kulo ajeng mangsulke anda.” Maksudnya ia mau mengembalikan
tangga yang baru saja dipinjamnya untuk memperbaiki genteng rumahnya yang
melorot. Proses alih bahasa semacam ini terus berlangsung dengan cepat dan
penuh ketegangan di berbagai sektor hidup, termasuk yang sering dilakukan para
ilmuwan gagap berbahasa (Indonesia/Inggeris). Di sini orang mendomestikkan
jagad baru mereka. Dalam kasus di Solo yang diamati oleh Siegel (1986: 87-116),
misalnya pentas ludruk Srimulat mendomestikkan Dracula (hantu asing) yang
justeru populer karena keasingannya. Judul-judul pentas mereka ada dalam bahasa
asing, Indonesia dan campuran seperti: Killer of Play Papa; Violent Papa; Bulan
Madu dengan Mayat Hidup; Yang Binal yang Berontak; Kunci Nafsu Dracula; Gadis
Metropolitan; Hot Love Kuntilanak. Di
sini budaya lama (soal hantu dan demit) tidak lantas mati oleh kedatangan unsur
budaya baru tetapi bertahan secara kreatif (melawan hirarki bahasa baru).
Dari maestro antropologi struktural Claude Levi-Strauss (1995) kita bisa
belajar betapa posisi para penutur bahasa Indonesia sebagai lingua franca itu
jadi seperti posisi pasien dalam kompleks syamanisme, yang tidak jelas juntrung
sakitnya dan tidak mampu membahasakannya, kecuali dengan jalan menerima
pembahasaan seorang syaman yang diterima oleh masyarakatnya. Pengalaman
patologis si pasien itu tak terperikan, seperti tidak ada kata yang tepat untuk
mengartikulasikanya, sementara bahasa ‘kolektif’ (omong kosong) yang keluar
dari mulut syaman mungkin itu-itu saja, biasa-biasa normal. Pasien dalam
situasi penuh arti yang tak terungkapkan, sementara kata-kata dalam tindak
tanduk syaman menderas kurang arti. Pasien tidak dapat menyembuhkan diri
sendiri karena tidak mampu menstrukturkan kegalauan yang menyakitkan ke dalam
bahasa. Padahal syaman pun hanya dapat samara-samar saja memahami si pasien.
Bahasa syaman menjadi sumber simbolisme sosial bagi pasien untuk menemukan
koherensi-koherensi bagi sakit yang dialaminya, sehingga ia mampu
mengintegrasikan pengalamannya yang menyimpang dan unik pada suatu sintesis
yang normal (“kesembuhan”).[7]
Problemnya adalah ketika politik dan
kekuasaan Negara masuk serta menarik rantai komunikasi kembali ke dalam
(pelanggengan kuasa) dirinya sendiri, maka hubungan seseorang dan bahasanya
terputus. Ia pun jadi latah, kehilangan kontrol terhadap bahasa, bahkan
dikuasai oleh bahasa (resmi/pemerintah).[8]
Berkenaan dengan bahasa Indonesia, maka problem itu terjadi ketika Negara
mengembangkan (mewajibkan) bahasa yang baik dan benar. Kini proses kebahasaan
dalam kompleks syamanisme yang semula seperti alami itu dilembagakan dengan
nilai baik dan benar. Kuasa Negara memenjarakan kewajaran budi bahasa
Indonesia. Penutur bahasa Indonesia mengalami beban ganda dari kesulitannya
mengartikulasikan maksudnya dalam bahasa yang bukan bahasa ibunya dan dari
keharusannya untuk benar dan baik (menurut kata penguasa). Kata BRO’G Andeson
(2002):
“Di tengah seribu satu Reformasi
terhadap ini-itu sisa Orde Babe, ternyata belon banja dibitjaraken masalah
pembebasan bahasa nasional dari belenggu Hukum Pindana Kebudajaan yang dijuluki
Soeharto cs sebagai “Bahasa baik dan benar”. Padahal kitorang semua mengerti
bahwa bahasa gupermen –jang ngakunja baek en bener itu- membosankennja boekan
kepalang, kaku tanpa mutu, apalagi bersifat dusta en pura2. Kitorang djuga
melihat bahwa bahasa jang dipake di koran2 dan madjalah2 misih sering djelek,
genit-lesu, dan melelahken. Dasar si hamba suka ikut-ikutn gerakgerik
tuwannja.”
Di dalam situasi kebahasaan seperti itu orang tercuci otaknya dan putus
hubungan dengan sejarah dan akar tradisionalnya. Dengan kata lain di sana bahasa telah mendeskriminasikan para
penuturnya satu dari yang lain karena bahasa diperlakukan untuk
merepresentasikan kelas. Untuk mengatasi persoalan itu BRO’G Andeson
mengusulkan pembebasan Bahasa Indonesia dari belenggu pemaksaan standar bahasa
Indonesia yang baik dan benar. Kira-kira gagasanya itu mengatakan perlunya
pluralitas sastra dan bahasa menuju pembebasan, mungkin lebih tepat,
penyetaraan (demokratisasi) yaitu penemuan diri/jati diri. Di sini saya melihat
kemiripan gagasan ini dengan pandangan Leotard/Wittgensteinian tentang
pertandingan bahasa (language games) yang sering disebut forms of
life, yaitu ketika seseorang dalam suatu model masyarakat pasca modern
harus berjuang dalam berbagai pertandingan bahasa (yang berbeda-beda latar
kognisi dan sejarah) dalam suatu lingkungan yang ketat berisi perbedaan dan
konflik (Madan Sarup: 150-151).
Bahasa kembali menjadi permainan rakyat (terjadi sosialisasi), sehingga
orang dapat melantunkan hasrat dan maksudnya dengan suka cita tanpa hambatan
harus berbicara dalam bahasa kedua yang menekan bahasa ibu, seperti ketika
orang jawa penutur ngoko harus berbicara krama. Bahasa kembali ke
tangan warga dan bukan di tangan lembaga resmi pemerintah yang mengintervensi
“permainan” budi bahasa antara syaman dan pasiennya itu. Bila bahasa kembali ke
tangan rakyat, maka rakyat mampu mengartikulasikan masalahnya sendiri dengan
bahasanya, sehingga rakyat dapat “menyembuhkan diri” atau menyelesaikan
masalahnya tanpa regimentasi. Mereka akan mengembangkan kebahasaan dan kesastraannya
secara mengasyikan dan menyenangkan, sejauh tidak ada yang memaksakan nosi
kebenarannya. Di sini diperlukan semacam pelimpahan kuasa seperti “dukun”
membahasakan/menebak-nebak sakit si pasien hingga pasien dapat membahasakan
sakitnya sendiri (bukan mimikri bahasa si dukun).
Pada tahun 30-an, di fakultas hukum Jakarta (sekarang bagian dari UI)
mahasiswa diminta memilih belajar bahasa jawa, sunda atau melayu. Guru bahasa
jawanya adalah Kats (orang Belanda). Dalam wawancara dengan Rudolph Mrazek Beberapa
minggu Sebelum meninggal, Prof. Resink Orang Belanda pro kemerdekaan, penulis
buku Pengantar Historiografi Indonesia pertama, menceritakan pengalamannya
belajar berbagai bahasa dalam keluarga, lingkungan dan di sekolah. Pada masa
kecilnya di Yogya, kecuali dengan para kacungnya ia hanya kontak dengan para
bangsawan Pakualaman di mana ia belajar main gamelan. Ia tidak dapat berbicara
bahasa jawa meski kacungnya selalu berbahasa jawa. Ia juga tidak berbicara
Melayu. Ibunya selalu berbahasa jawa halus (kromo) kepada pembantunya yang
paling tua. Ibunya yang turunan dari juru bahasa keraton Wilkens itu malah
menyarankan agar Resink belajar bahasa jawa dengan Raden Mas Sosorosoegondo
yang punya hubungan kerabat dengan Tjipto Mangoenkoesoemo. Sementara tentang
pelajaran Belanda yang dialaminya ia mengatakan:
“We learned a Dutch Dutch at the school. And
Many Indonesian spoke Dutch Dutch so fluently because we (sic) knew what our
future would be if we wanted to become high officials. We had to know Dutch really
well. So when I came to Holland, the Dutch of high strata, for me, was no
problem. But the Dutch of lower Amsterdam—out of question! We would not speak
it. We would not understand it. Exactly like petjook! (bahasa khas orang indo
Belanda dan Jawa yang diajarkannya) “It was a little strange. But for the
Javanese it was acceptable. The new world. They could also laugh at his (Kats’)
pronunciation and so on, but his knowledge of Javanese culture was so
enormouse—And, ha ha, he was not a professor! So the students needed not to be
afraid of him. Everybody, hi hi, could get it, to pass it, his examination.
This was not the case with other teacher. So I took Javanese” (Mrazek 2002:155-156).
Kutipan sedikit kisah kebahasaan prof. Resink itu menunjukan betapa bahasa-bahasa di Hindia Belanda itu
berkelas-kelas. Bahasa jadi sekat-sekat etnik. Namun demikian pengalamannya
menyeberang lintas bahasa sungguh menarik karena dengan begitu ia belajar
mengenai orang lain dan juga jelas mengembangkan diri menjadi pribadi yang
menghormati martabat dan kebebasan orang lain. Penting juga dicatat di sini
bahwa hari ini kolonialisme dalam bentuknya seperti zaman Hindia Belanda tidak
tampak lagi. Bahasa kita tidak terkotak-kotakkan menurut batas-batas etnik dan
kelas secara “resmi”. Masyarakat seolah begitu terbuka tanpa sekat. Globalisasi
seperti menyeragamkan kita semua. Tekanan globalisasi telah membawa semua orang
pada fakta betapa terbatasnya bahasa yang dimilikinya untuk mendudukan masalah
yang tidak jelas juntrungnya dari antah berantah. Bahasa akan menjadi milik
kita kembali juga bila dapat mengartikan tekanan dari wilayah antah berantah
yang bisa sangat menyakitkan. Jadi, kembali
ke bahasa ibu saja tidak cukup jika bahasa itu tidak bebas untuk mengolah
globalisasi juga. Sosialisasi bahasa dan kesusateraan tidak dapat
dipisahkan dari proses-proses sosial dalam komunitas di seantero jagad, maka
pembahasaan (mediasi) adalah bagian dari pelembagaan atau institusionalisasi
dari proses-proses sosial budaya itu sendiri. Ia juga bagian dari globalisasi
yang menginstitusionalisasikan “negeri” antah berantah melalui kuasa
lembaga-lembaga, pasar, teknologi, gaya hidup dan kuasa politik global.
Kesimpulan
Pengertian mengenai kebudayaan bukan saja banyak
jumlahnya, tetapi juga melibatkan perspektif yang berbeda-beda. Dengan demikian
setiap penggunaan konsep kebudayaan akan memiliki implikasi yang khas dan dapat
saling bertentangan. Dari paparan di atas kita juga menemukan betapa konsep
kebudayaan dapat digunakan secara diskriminatif untuk mengunggulkan diri dan
memojokkan orang lain. Selain itu dari studi paska kolonial, kita juga
menemukan betapa latennya jejak kuasa kolonial dalam wacana kebudayaan,
sehingga demi pengembangan nansionalisme Indonesia disarankan agar kita melihat
kebudayaan secara lebih reflektif dan terlibat dalam transformasi sosial. Dalam
hal ini kebudayaan perlu kiranya dilihat sebagai gejala yang tidak kasat mata
(invisible), sebagai konteks, jaringan makna dari pelbagai ekspresi (budaya)
kasat mata yang dimengerti bersama para warga. Belajar dari sejarah konstruksi
“Indonesia,” kita menjadi semakin percaya bahwa kebudayaan itu bersifat
dinamik dan diskursif, sehingga ada banyak varian nasionalisme dihayati oleh
warga Indonesia. Meskipun demikian toh berkat kehadiran bahasa Indonesia
sebagai lingua franca, kekhususan sejarah Indonesia dimungkinkan, yaitu
penterjemahan budaya-budaya lokal ke dalam lingua franca dan simbol-simbol
global hingga keberadaannya diakui. Dengan demikian budaya lama tidak lantas
mati oleh kehadiran unsur budaya baru, tetapi bertahan secara kreatif melawan
hirarki bahasa baru. Persoalan terjadi ketika politik dan kekuasaan
negara masuk memutuskan hubungan antara seseorang dengan bahasanya. Pemutusan
itu menimbulkan kelatahan, orang kehilangan kontrol terhadap bahasanya, bahkan
dikuasai oleh bahasa resmi pemeriontah. Bahasa dan kebudayaan pun menjadi alat mendiskriminasikan
para penuturnya karena dipandang sebagai representasi kelas. Karena fakta
sejarah bahwa bahasa-bahasa di Hindia Belanda itu berkelas-kelas, maka kembali ke bahasa ibu (asli) saja tidak cukup jika bahasa itu tidak bebas untuk mengolah globalisasi juga. Jadi, konsep kebudayaan perlu diletakkan sebagai usaha untuk
menciptakan perubahan.
Bahan Bacaan
Anderson, BRO’G
(2002), “Beberapa Usul Demi Pembebasan
Bahasa Indonesia, “Edisi Khusus Akhir Tahun, 31 Desember 2001-6 Januari 2002.
Anderson, BRO”G (2004), Spectre of Comparisons: Natinalsim,
Southeast Asia, and the World. Manila:
Ateneo de Manila University Press.
Auge, Marc (1995), Non-Places: Introduction to an Anthropology of Supermodernity, diterjemahkan oleh John
Howe, London-New York: Verso.
Geertz, C. (1992), Tafsir
Kebudayaan, Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Geertz, C.
(1995), After the Fact: Two Countries,
Four Decades, One Anthropologist. Cambridge,
Massachusetts: Harvard University
Press.
Koetjaraningrat (1959) Metode2 Anthropologi dalam Penjelidikan2 Masjarakat dan Kebudajaan di Indonesia, Djakarta: Penerbitan Universitas.
Koentjaraningrat
(1981), Pengantar Antropologi,
Jakarta: Aksara Baru.
Kahn, Joel S (1995) Culture, Multiculture, Postculture, London: Sage Publication Ltd.
Levi-Strauss, Claude (1995), Mitos, Dukun & Sihir,
Pengantar oleh Agus Cremers & John de Santo, Jogyakarta: Penerbit
Kanisisus.
Mrazek, Rudolf (2002), “Coughing Heavily: Two Interviews
with Profesor in His Home at Gondangdia Lama 48A, Jakarta, On July 17 and July
25, 1997, Indonesia, 74, October 2002, Ithaca: Cornell Southeast
Asia Program.
Sarup, Madan (1998), An Introductory Guide to Post
Structuralism and Posmodernism, Athens: The University of Chicago Press.
Susanto, Budi (2010),Indonensia di mata (mata-i) Post
Kolonialitas, Yogyakarta: Penerbit Kanisius
dan Lembaga Studi Realino.
Siegel, James T (1986), Solo in the New Order:
Language and Hierarchy in an Indonesian City7, Princeton, New Jersey: Princeton University
Press.
Siegel (1995), A New Criminal Type in Jakarta:
Counter Revolution Today. Durham and London: Duke University Press.
Siegel
(1996), Naming the Witch.
Stanford California: Stanford University Press.
Siegel, James T. (1997), Fetish, Recognition, Revolution, Princetonm, New
Jersey: Princeton
University Press..
Siegel, James T. (2011), Objects and Objections of Eyhnography, New York:
Fordham University Press.
[1]
Bahan Untuk pembahasan RUU Kebudayaan dari Pendamping Ahli Komisi X DPR untuk
Pembahasan RUU Kebudayaan (2011)
[2] C. Kluckhohn bersama
A.L. Kroeber mencatat ada 160 definisi mengenai kebudayaan yang pernah dipakai
orang. sementara Koentjaraningrat (1981: 180) menggunakan definisi kebudayaan
sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam
rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan millik diri manusia dengan belajar. Definisi
ini sangat populer nyaris tanpa kritik di kalangan intelektual di Indonesia.
Pada hal sudah sejak akhir tahun 70an berkembang kritik yang serius, antara
lain dari Parsudi Suparlan yang cenderung
seperti Clifford Geertz (1992) membatasi pengertian kebudayaan hanya
pada sistem gagasan yang berisi jaringan (pe)makna(an).
[3] Visualitas
atau penglihatan itu fakta sosial, yang tereproduksikan baik secara mekanik
maupun digital oleh media (massa) dan berisi jaringan pemaknaan pada pandangan
(mata). Di sana terjadi wacana yang mengedepankan segala sesuatu sebelum dan
sesudah seseorang melihat (dengan mata kepala). Penglihatan itu termediasi
dalam berbagai citra yang bermuatan makna (tidak hampa), sehingga memiliki
konteks sosial.
[4] Fakta adalah
pernyataan atas gejala/kejadian/peristiwa, something said to be true
(lihat Webster’s Universal College Dictionary, New York Gramercy Books, 2001)
[5] Bandingkan Geertz (1992: 25) yang menyebut
empat cirri paparan etnografis:” … paparan itu bersifat interpretatif: apa yang
interpretatif adalah aliran perbincangan sosial;…mencoba menyelamatkan apa yang
“dikatakan” dari perbincangan itu…dan menetapkannya dalam istilah-istilah yang
dapat dibaca…; dan … paparan itu bersifat mikroskopis.”
[6] Di
Indonesia terdapat kira-kira 742 bahasa di antara 237 juta penduduk. Hanya 13
bahasa dipergunakan oleh lebih dari sejuta orang. Jadi 729 bahasa lainnya
dipergunakan oleh kurang dari sejuta orang, bahkan 169 bahasa di antaranya
dipergunakan oleh kurang dari 500 orang.
(http://didikbudiarto.wordpress.com/2008/08/13/indonesia-republik-dengan-742-bahasa/
)
[7]
Levi-Strauss meminjam istilah abreaksi dari kalangan psikologi untuk
menjelaskan proses kesembuhan si pasien.
[8] Mengenai peristiwa semacam ini,
lihat Siegel (1998), yaitu ketika regim Orde Baru memanfaatkan suatu skandal
(mayat korban penembakan misterius) yang memicu kelatahan massa untuk menonton
dan mengundang kewenangan (legitimasi) polisi (negara) untuk member penjelasan.
Persoalan inimirip dengan kasus korban pembunuhan di Banyuwangi hanya karena
dinamai dukun santhet (Siegel 2006).