BAB II
KHASANAH BUDAYA NUSANTARA
A. Pendahuluan
Bab ini akan mencakup penjelasan tentang budaya seara umum dan budaya Nusantara khususnya. Materi ini diberikan sebagai panduan dan untuk memberikan gambaran pada mahasiswa bahwa kearifan lokal sebagaimana dimaksud dalam Bab I akan termanifestasikan dalam kekayaan khasanah budaya Nusantara yang begitu luas, termasuk bagaimana perubahan dan perkembanganyang terjadi.
Mahasiswa juga dapat memanfaatkan materi Filsafat Nusantara atau kajian Antropologi untuk memperkaya dan memperluas cakrawala berpikir tentang ranah budaya Nusantara tersebut.
Tujuan Instruksional Khusus: Mahasiswa memahami khasanah budaya, khususnya budaya Nusantara dan mampu menjelaskan dinamika perubahan dan perkembangan budaya.
B. Penyajian
Pengertian-pengertian tentang kebudayaan pada sub 1 dan 2 di bawah ini diambil dan diktat Filsafat Kebudayaan oleh Drs. Miftahuddin Zuhri kecuali yang secara khusus ditulis tersendiri dalam Daftar Pustaka.1. Pengertian Budaya (kebudayaan)
a. Pengertian kebudayaan secara etimologis
Pengertian kebudayaan secara etimologis adalah pengertian kebudayaan didasarkan atas asal kata kebudayaan, yakni dengan cara menjabarkan makna kebudayaan dan asal katanya dalam sejarah
penggunaannya.
1) Koentjaraningrat (dalam Pengantar Antropologi)
Kebudayaan berasal dari kata “budhayah” yang merupakan bentuk jamak dari “budhi” yang berarti budi atau akal. Berdasarkan asal kata ini kebudayaan dimengerti sebagai hal yang bersangkutan dengan akal.
2) Haji Agus Salim (dalam Endang Saefuddin Ansari, Agama dan Kebudayaan)
Kebudayaan di dalam bahasa Jawa diucapkan “kabudayan”, dan merupakan persatuan antara budi dan daya. Kebudayaan merupakan kata yang sejiwa, tidak dipisah-pisah. Budi sendiri mengandung makna akal, pikiran, pengertian, paham, pendapat, ikhtiar, serta perasaan. Daya berarti tenaga, kekuatan dan kesanggupan. Kebudayaan oleh karenanya berarti himpunan segala usaha dan daya upaya yang dikerjakan dengan menggunakan hasil pendapat budi untuk memperbaiki sesuatu dengan tujuan mencari kesempurnaan.
3) M.M. Djojodiguno (dalam Asas-asas Sosiologi)
Kebudayaan merupakan bentuk rimbag dari kata budaya. Budaya merupakan mufrad dan budi yang berarti kemungkinan-kemungkinan yang ada dalam jiwa manusia, yang membedakan manusia dengan hewan.
4) Ki Hajar Dewantara (dalam Masalah Kebudayaan)
Kebudayaan beranti buah budi manusia, yaitu hasil perjuangan manusia terhadap dua pengaruh yang kuat yaitu alam dan jaman (kodrat dan masyarakat).
Berdasarkan asal kata kebudayaan dari bahasa Sanskerta dan Jawa di atas, dapat disimpulkan bahwa kebudayaan mengandung anti:
a.) Hal-hal yang bersangkutan dengan akal.
b.) Segala usaha yang dikerjakan berdasankan pada budi, untuk memperbaiki sesuatu dan untuk mencapai kesempurnaan.
c.) Kemungkinan hal yang ada pada manusia yang membedakannya dengan hewan.
d.) hasil perjuangan manusia melawan kodrat dan masyarakat.
Istilah atau kata kebudayaan juga sering dipakai bersama dengan kata kultur (culture) dan peradaban (civilization). Meskipun demikian meskipun secara umum ketiga kata tersebut sering dimengerti sama, ada juga yang menganggap athnya nuansa perbedaan tipis antara kebudayaan, kultur, dan peradaban.
b. Pengertian kebudayaan secara semantis
Pendekatan kata kebudayaan secara semantis merupakan usaha memahamii kata kebudayaan didasarkan pada penggunaannya di masyarakat dan sesuai dengan sejarah pemakaiannya. Biasanya
masyarakat tertentu mempunyai penekanan tertentu terhadap penggunaan suatu kata tertentu. Di bawah ini beberapa pendekatan terhadap kata kebudayaan secara semantis.
1) Pada masyarakat Yunani Kuno
Kebudayaan diungkapkan dengan istilah “paidea” yang berarti pendidikan. Pada mulanya dimaksudkan sebagai usaha mendidik para pemuda. Setelah itu berkembang dalam pengertian isi pendidikan, cita-cita hidup yang diwariskan secara turun-temurun dan dianggap mewakili intisari pandangan hidup mereka. Pada waktu sekarang, kata yang berarti kebudayaan berbunyi “politeuma” atau politik. Pengertiannya bergeser dan makna pendidikan menjadi bermakna path konteks kenegaraan. Sebagai kesimpulan, kebudayaan semula diartikan sebagai usaha memperbaiki hidup manusia dengan pendidikan, dan akhirnya berarti suatu usaha yang menyangkut kepentingan seluruh masyarakat dalam rangka membentuk hidup yang Iebih baik.
2) Pada masyarakat Romawi
Kebudayaan diungkapkan dengan kata “cultura” yang berarti mencurahkan perhatian atau menggemari. Orang Romawi sangat mengenal istilah Cultura Dei, yang berarti kebaktian kepada Tuhan dan agriculture, yang berarti memelihara tanah. Hal ini menunjukkan bahwa dua hal yang sangat prinsip dan berharga dalam kehidupan orang Romawi adalah membangun negara dengan cara beribadat dan bertani. Di samping hal tersebut di atas, masih ada istilah humanitas.
Humanitas diartikan dengan perikemanusiaan. Sepadan dengan pengertian ini, humaniora dalam pendidikan berarti pelajaran yang menginginkan terwujudnya nilai-nilai kemanusiaan. Oleh karenanya,
kebudayaan diarahkan untuk mempertinggi derajat kemanusiaan.
Pengertian ini sangat berbeda dengan sejarah kebudayaan Barat modem yang menekankan pada perkembangan ilmu dan teknologi untuk menguasai dunia materiil. Kebudayaan dalam arti ini bahkan
sering menyebabkan manusia terasing dari kemanusiaannya sendiri.
Kebudayaan dalam pengertian humaniora adalah untuk mengembang-kan nilai-nilai manusiawi yang paling fundamental.
3) Pada masyarakat India
Kebudayaan dikenal dengan istilah “sarvodaya”, yaitu keseluruhan hasil usaha manusia untuk mencapai perkembangan integral dan seimbang. Persepsi ini pada dasamya merupakan orientasi
yang melihat segala sesuatu sebagai suatu kesatuan total. Kebudayaan India ditekankan pada usaha menciptakan harmoni dalam kehidupan usia, masyarakat, dan dunia meskipun di dalamnya tetap terdapat suatu tingkatan.
4) Pada masyarakat Arab
Gambaran kebudayaan dimunculkan dalam beberapa istilah a.l.”
a) hadarat, menekankan pada aspek pengolahan dan penyempurnaan
b) muruwah, berarti humanisme kesukuan
c) tamaddun dan madaniyyah, mendekati arti sivilisasi, yaitu menyebut seluruh sejarah kebudayaan muslim.
d) thagafa, kebudayaan diartikan pada perkembangan ilmu, penekanan aspek intelegensi.
e) umran badawi (kebuthyaan primiti f) dan umran hadari (kebudayaan modern high culture).
Berdasarkan peristilahan di atas dapat dikatakan bahwa pada dasamya kebudayaan merupakan penjelmaan nilai-nilai manusiawi.
Konsep kebudayaan Islam (atau Arab) pada hakikatnya menekankan pada peranan akal dan pengembangan ilmu pengetahuan. Hal ini mirip dengan konsep budaya modem (umran hadari-high culture) yang menekankan pada pengembangan ilmu dan teknologi modem.
Meskipun demikian, konsep kebudayaan pada hakikatnya didasarkan atas budi manusia.
5) Pada masyarakat Indonesia
Di Indonesia, penggunaan kata kebudayaan ditekankan pada aspek budi sebagai kebudayaan. Dengan daya budinya manusia merealisasikan kualitas dirinya ke tingkat yang lebih manusiawi.
Pendapat-pendapat mengenai perealisasian budi daya manusia ini datang dari berbagai ahli. Pada dasamya mereka menekankan pada pengembangan kreativitas budi daya manusia lengkap dengan segala kemampuannya menapaki sejarah perkembangan di masa datang.
Berdasarkan pemakaian kata kebudayaan dari berbagai masyarakat ditunjukkan bahwa pada dasarnya kebudayaan berbicara mengenai si fat-sifat dasar manusiawi, yaitu bagaimana manusia
mengembangkan bakat akal budinya dalam menghadapi kehidupannya.
2. Unsur dan Wujud Budaya
Unsur-unsur budaya (kebudayaan) terangkum dalam kebudayaan universal (cultural universal). Unsur kebudayaan terdiri dari tujuh hal dan merupakan unsur umum yang ada dalam tiap kebudayaan.
a. Sistem religi dan upacara keagamaan
b. Sistem dan organisasi kemasyarakatan
c. Sistem pengetahuan
d. Bahasa
e. Kesenian
f. Sistem mata pencaharian hidup
g. Sistem teknologi dan penalatan
(Koenjaraningrat, 1990;2).
Di dalam setiap kebudayaan yang berkembang selalu terdapat tujuh unsur ini. Tentu saja hal ini tidak lepas dari pengertian kebudayaan yang merupakan wahana kreativitas manusia yang berevolusi dan selalu berkembang. Sistem keagamaan mulai, sistem organisasi , pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian, sistem berteknologi ada dalam wujud-wujud kebudayaan sesuai dengan perkembangan kebudayaan suatu masyarakat. Tentu saja kualitas dan bentuknya berbeda. Meskipun demikian unsur-unsur tersebut ada. Sebagai misal bahasa, pada suatu masyarakat, bahasa mempunyai gagasan idenya sendiri secara nonmatif, begitu juga dalam pelaksanaannya di dalam pembicaraan dan hash budaya bahasa mungkin muncull dalam ragam sastra.
Di dalam memperjelas pemahaman ini mahasiswa diberikan kesempatan untuk melihat penampilan unsur budaya suatu masyarakat dan mendiskusikannya sesuai dengan kreativitas berpikimya.
Dilihat dan sisi wujud, setidaknya ada tiga wujud (Koentjaraningrat, 1990:5):
a. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dan ide-ide, gagasan-gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan-peraturan dan sebagainya. Wujud pertama ini disebut adat tata kelakuan atau adat dan disebut juga sistem budaya. Artinya, wujud budaya ini merupakan tata kelakuan yang mengatur,
mengendalikan dan memberi arah kelakuan dan perbuatan manusia di dalam masyarakat.
b. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan yang berpola dari manusia suatu masyarakat. Wujud kebudayaan ini juga disebut sebagai sistem sosial.
c. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.
Wujud kebudayaan pertama, sebagai kompleks ide merupakan wujud ideal kebudayaan. Fungsinya adalah sebagai tata kelakuan yang mengantur, mengendalikan, memberi arah pada kelakuan dan perbuatan manusia di masyarakat. Selanjutnya disebut sistem budaya yang terealisasi dalam sistem
norma, sistem hukum, dan peratusan khusus yang berhubungan dengan aktivitas hidup manusia sehari-hari. (Koentjaraningrat, 1974; 15-16).
Wujud kebudayaan kedua disebut juga sistem sosial. Sistem sosial terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang saling berinteraksi menurut pola-pola tertentu berdasarkan adat tata kelakuan dan wujud kebudayaan pertama di atas. Sistem sosial ini bersifat konkrit, terjadi di sekeliling manusia dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan wujud kebudayaan yang ketiga berupa kebudayaan fisik, benda-benda konkrit yang dapat dilihat dan diraba sebagai hasil budi daya manusia (Koentjaraningrat, 1974; 16). Kebudayaan konkrit ini dapat ditunjuk misalnya bangunan, hasil seni, hasil teknologi, buku, dan sebagainya.
A.L. Kroeber mengatakan bahwa dalam menganalisis kebudayaan seorang peneliti harus memisahkan dengan tajam kebudayaan sebagai suatu sistem gagasan dan pikiran manusia yang hidup di masyarakat, dan kebudayaan sebagai sistem akktivitas tingkah laku manusia di masyarakat.
Sistem yang pertama adalah culture system atau sistem budaya, dan yang kedua adalah social system atau sistem sosial (Koenjaraningrat, 1980; 131-132).
Sistem budaya merupakan kompleks ide yang bersifat sistematik dan normatik yang merupakan sistem tata nilai yang dianggap ideal oleh suatu masyarakat dan diusahakan untuk direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari ini merupakan pola kebudayaan yang relatif khas bagi suatu masyarakat
pendukung. Gagasan dasar ini akan tercermin dalam tata hidup dan menjadi pandangan hidup bermasyarakat.
3. Perubahan budaya
Mengenai pengertian perubahan kebudayaan dapat dihubungkan dengan pengertian kata benda dan kata kerja. Kebudayaan sebagai kata benda artinya kebudayaan dilihat dari segi sifat teoritisnya, sedangkan kebudayaan sebagai kata kerja artinya kebudayaan dilihat dan segi praktis. Kebudayaan
dipandang sebagai manifestasi kehidupan setiap orang atau kelompok orang yang selalu mengubah alam. Kegiatan manusia memperlakukan lingkungan alamiahnya itulah kebudayaan. Kebudayaan merupakan usaha manusia, perjuangan setiap orang atau kelompok dalam menentukan hari depannya.
Kebudayaan merupakan aktivitas yang dapat diarahkan dan direncanakan (Van Peursen, 1976:10-11)
Dalam pengertian kebudayaan sebagai kata kerja maka kebudayaan dalam tiga wujudnya tidak dilihat sebagai produk melainkan sebagai bahan yang digunakan untuk membantu menentukan dan mencari hari depan. Realitas kebudayaan tidak diterima sebagai warisan melainkan sebagai bahan
yang harus dikoreksi dan disesuaikan, diintegrasikan dengan kebutuhan dan kepentingan hari depan. Oleh sebab itu dituntut adanya kemampuan, kreativitas, dan penemuan-penemuan baru. Manusia tidak hanya membiarkan diri dalam kehidupan lama melainkan dituntut mencari jalan baru dalam
mencapai kehidupan yang lebih manusiawi. Dasar dan arah yang dituju dalam perencanaan kebudayaan adalah manusia sendin sehingga humanisasi menjadi kerangka dasar dalam strategi kebudayaan (Ali Moertopo, 1978; 12).
Maka tepat dengan pemahaman kearifan lokal pada bab sebelumnya, sebagai bentuk budaya maka ia akan mengalami reinforcement secara terus-menerus menjadi yang lebih baik. Ali Moertopo mengatakan bahwa humanisasi merupakan ideal proses dan tujuan kebudayaan.
Dinamika kebudayaan merupakan suatu hal yang niscaya. Hal ini tidak lepas dari aktivitas manusia dengan peran akalnya. Dinamika atau perubahan kebudayaan dapat teijadi karena berbagai hal. Secara fisik, bertambahnya penduduk, berpindahnya penduduk, masuknya penduduk asing, masuknya
peralatan baru, mudahnya akses masuk ke daerah juga dapat menyebabkan perubahan pada kebudayaan tertentu. Dalam Iingkup hubungan antar manusia, hubungan individual dan kelompok dapat juga mempengaruhi perubahan kebudayaan.
Di kalangan antropolog ada tiga pola yang dianggap paling penting berkaitan dengan masalah perubahan kebudayaan: evolusi, difusi, dan akulturasi. Landasan dan semua ini adalah penemuan atau inovasi. (Lauer, 1993:387).
a) Evolusi
Evolusi kebudayaan dilukiskan antropolog berkembang dari bentuk yang rendah ke yang tinggi, dari kekejaman sampai keberadaban. Pendapat Morgan sebagaimana dikutip menyatakan bahwa kemajuan
kebudayan sejalan dengan perkembangan teknologi (Lauer, 1993:3 89).
Ada beberapa pendekatan tentang teori evolusi dari para pemikir lama sampai yang berikutnya. Julian Steward menambah satu pendekatan (evolusi multilinier) sehingga ada tiga pendekatan utama untuk memahami perkembangan kebudayaan Lauer, 1993:394).
1) Pendekatan teoritisi evolusi kuno dan teori yang menganggap perkembangan evolusi menurut garis lurus.
2) Pendekatan teoritisi “relativitas kebudayaan” yang melihat perkembangan kebudayaan “ada dasarnya berbeda-beda” dan yang mencoba mengidentifikasi ciri-ciri kebudayaan yang membedakan
antara satu masyarakat dan masyarakat lain.
3) Pendekatan multilinier. ini merupakan sebuah penegasan bahwa ada keteraturan persilangan kebudayaan yang berarti tetapi keteraturan itu harus menyinggung seluruh masyarakat manusia. Kebudayaan berkembang menurut garis yang berbedaan ini digambarkan sebagai pohon yang bercabang banyak. Pada waktu yang sama terdapat keteraturan persilangan atau kesejajaran sejarahnya. Kesejajaran ini ada karena kenyataan bahwa perubahan kebudayaan dihasilkan dari
adaptasi terhadap Iingkungan.
Dari berbagai pendekatan ini disimpulkan Lauer ada kurang lebihnya termasuk pendekatan multilinier Steward sekali pun yang merupakan satu ide pembaharuan.
b) Difusi
Difusi merupakan proses yang menyebarkan penemuan (inovasi) ke seluruh lapisan satu masyarakat atau ke dalam satu bagian atau dari satu masyarakat ke masyarakat lain. Tidak mudah untuk mengatakan bahwa kebiadaan atau kebudayan tertentu merupakan basil difusi ataukah hasil
inovasi dan kebudayaan yang bersangkutan.Banyak terjadi modi fikasi pada kenyataannya (Lauer, 1993: 397-402).
c) Akulturasi
Akulturasi mengacu pada pengaruh satu kebudayaan terhadap kebudayaan lain atau saling mempengaruhi antara dua kebudayaan yang mengakibatkan adanya perubahan kebudayaan. Tidak ada definisi yang dianggap memuaskan dan definisi di atas seperti halnya definisi antropologi klasik Redfield, Linton, dan Herkovits yang mengatakan bahwa akulturasi meliputi fenomena yang dihasilkan sejak dua kelompok yang berbeda kebudayaan mulai melakukan kontak langsung, yang kemudian diikuti perubahan pola kebudayaan asli salah satu atau kedua kelompok tersebut.
Menurut definisi tersebut dikatakan bahwa akulturasi hanya merupakan salah satu aspek dari perubahan kebudayaan. Difusi yang dijelaskan di atas merupakan bagian dari akulturasi. Difusi selalu terjadi dalam akulturasi dan dengan demikian memerlukan kontak langsung sebagaimana syarat akulturasi. Definisi lain yang dikutip Lauer dan dianggap menjadi standar dalam studi perubahan kebudayan dan dirumuskan tahun 1954 menyatakan bahwa akulturasi adalah perubahan kebudayaan yang dimulai dengan
berhubungannya dua sistem kebudayaan atau lebih yang masing-masing otonom. Dan akulturasi ini dianggap mempunyai pengaruh yang lebih dasar daripada difusi, dalam arti kebudayaan yang dipengaruhi akan menyerupai kebudayaan yang dipempengaruhi (Lauer, 1993:403). Ketika akulturasi
dianggap sebagai “penyatuan” dua budaya atau lebih maka akan terjadi beberapa perubahan. Di satu sisi ada kebudayaan yang mengikuti (ini disebut sebagai kebudayaan yang lemah) di sisi lain kebudayaan yang mengikuti (ini disebut kebudayaan yang kuat). Dalam kasus-kasus tertentu
tidak selalu demikian karena yang muncul adalah kebudayaan yang sama sekali baru. Keduanya bisa sama-sama kuat atau sama-sama lemah (Lauer, 1993:402-405).
Perubahan kebudayaan sebagai akibat inovasi, difusi dan pertemuan antar budaya akan mempengaruhi tiap individu anggota kebudayaan. Di dalam diri individu akan terdapat proses internalisasi nilai-nilai kebudayaan tersebut sehingga ia menjadi bagian dari kebudayaan tersebut. Proses internalisasi ini sering disebut inkulturasi. Satu definisi mengatakan bahwa inkulturasi adalah proses keterlibatan individu dalam kelompok dan dalam kontak antarbudaya. Kekuatan inkulturasi tergantung dari beberapa hal yang akan menyebabkan individu tersebut dapat hidup dalam kebudayaan baru tersebut atau tidak. Ada empat saluran inikulturasi:
(1) Jaringan yang mempengaruhi individu, yaitu tempat individu tersebut berkecimpung dalam hidup bermasyarakat dan berkebudayaan dan di dalamnya terdapat nilai-nilai tertentu yang hidup dan dikembangkan, misalnya pendidikan.
(2) Struktur kepribadian dasar; berupa penghayatan individual. Ini sangat mempengaruhi bagaimana individu tersebut dapat menolak, menerima atau mengembangkan nilai-nilai baru yang diterimanya.
(3) Saluran kontrol dan bimbingan. Adalah lembaga atau lingkungan yang memberikan pertimbangan tentang nilai yang semestinya individu tersebut dapat mengikuti atau tidak, misalnya keluarga.
(4) Self-expression. Bahwa nilai baru yang diterima tersebut kemudian akan disalurkan dalam ekspresi individual. Kemudian nilai-nilai ini akan diasimilasikan secara dinamis dan terbuka bagi peningkatan lebih lanjut.
4. Pengertian, wujud dan perubahan pada budaya Nusantara Luasnya pengertian budaya relatif seluas pengertian budaya Nusantara.
Pendapat seputar asal-usul budaya Nusantara antara lain dalam http://www.sinarharapan.co.ic/hiburan/budaya/2003/1018/bud2.html. Uraian cukup lengkap yang menggambarkan kekayaan budaya Nusantara dari sisi unsur-unsurnya dapat dibaca dalam Manusia dan Kebudayaan di Indonesia (Koentjaraningrat, 1999).
Menurut Fuad Hasan, budaya Nusantara yang plural merupakan kenyataan hidup (living reality) yang tidak dapat dihindari. Kebinekaan ini harus dipersandingkan bukan dipertentangkan. Keberagaman ini merupakan manifestasi gagasan dan nilai sehingga saling menguat dan untuk meningkatkan wawasan dalam saling apresiasi. Kebinekaannya menjadi bahan perbandingan untuk menemukan persamaan pandangan hidup yang berkaitan dengan nilai kebajikan dan kebijaksanaan (virtue and wisdom). Pandangannya tentang budaya Nusantara ini dapat diakses di http://kongres.budpar.go.idlnews/articke/Pokok_pokokbahasan.htm.
Pembagian corak budaya Nusantara yang terdiri dari: budaya Melayu, Budaya Jawa, dan non-jawa non-Melayu dapat diakses dalam http://www.indonesiamedia.com/2004/05/early/budaya/budaya-0504-bhineka.htm. Kekayaan budaya Nusantara yang lain dalam hal bahasa, kesenian, agama dan perkembangan hukum dapat diakses ke http://202.159.18.43/data/sos.htm. Informasi Iebih dalam konteks pusat budaya Jawa, lingkup istana, tentang semangat berbudaya Jawa dan pandangan-pandangannya dapat diakses ke http://www.Jawapalace.org/kami.html.
Dalam perjalanannya, budaya Nusantara, baik yang masuk kawasan istana atau masyarakat pada umumnya, tidak statis. Ia bergerak sesuai dengan perkembangan jaman. Dengan adanya kontak budaya, difusi, assimilasi, akulturasi yang dibahas dalam bab sebelumnya, namapak bahwa perubahan
budaya di masyarakat cukup signifikan. Salah satu kajian tentang perubahan masyarakat Jawa, yang sudah semestinya mengubah tatanan dan aspek-aspek budayanya tampak dalam karya Niels Mulder (1985) yang berjudul Pribadi dan Masyarakat di Jawa. Masih banyak lagi kajian tentang pergeseran dan perubahan budaya yang harus dieksplorasi lebih lanjut. Soerjanto Poespowardoyo (1993: 63-72), juga menjelaskan bagaimana perubahan budaya sebagai akibat orientasi nilai budaya yang berubah ini serta langkah-langkah kebijakan yang dapat dilakukan.
C. Penutup
Khasanah budaya Nusantara sangatlah luas dan dapat ditelusuri dari sisi sejarah dan manifestasinya dalam berbagai macam corak dan tingkah laku sosial masyarakat. Secara kategoris dapat dikelompokkkan pada budaya yang bercorak Melayu, Jawa, dan non-layu non-Jawa. Dalam perkembangannya apa yang ideal dalam tiga kategori budaya tersebut berubah akibat akulturasi, asissimilasi dan difusi.Kemampuan mahasiswa memahami khasanah budaya Nusantara dapat dilihat dari kemampuannya menjelaskan khasanah budaya dan perubahan yang terjadi dalam ranah tersebut. Pengayaan mateni harus dilakukan mahasiswa dengan melakukan kajian pustaka secara terus-menerus dan browsing dengan menggunakan teknologi internet.
Dalam rangka mengarahkan path kajian yang lebih pada ranah dimana kearifan lokal Nusantara dapat ditemukan termasuk dalam kerangka wujud budaya yang bagaimana.
Artikel / File ini diambil dari www.elisa.ugm.ac.id dimana file ini merupakan karya dari dosen Fakultas Filsafat UGM pengampu materi kuliah Kearifan Lokal oleh Dra. Sartini, M.Hum.